KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami
panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “HADIST
SUMBER AJARAN ISLAM”.
Makalah ini telah dibuat
dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami
mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun
kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Weleri, Oktober 2013
Penulis
BAB
I
PEDAHULUAN
A.
Latar belakang
Tatkala membahas Al Qur’an, kita mengemukakan bahwa
Kitab Allah ini bukansekedar shuhuf petunjuk untuk
menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan yang
dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al Qur’an
merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui
manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem. Meskipun Al Qur’an menegaskan
mengenai dirinya sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu, tetapi tidak
semua masalah disampaikannya secara tuntas, sejak dari prinsip dasar sampai
dengan operasionalisasinya.
Rupanya Allah menetapkan untuk memfungsikan Rasul
bukan sekedar membacakan Kitab-Nya kepada ummat, tetapi juga menerangkan isinya
dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau
tradisi Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka
berita tentang sikap dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits
yang makna harfiahnya adalah berita.
Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku
tinggalkan dua hal untuk kamu sekalian; maka kamu tidak ak an tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal
itu adalah Al Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi
dikemukakan sabda beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia
mencintai aku, dan barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di
dalam surga”.
Al-Quran dan hadits mempunyai hubungan yang sangat
erat dimana keduanya tidak dapat dipisahkan meskipun ditinjau dari segi
penggunaan hukum syariat, hadist/sunnah mempunyai kedudukan sederajat lebih
rendah dibandingkan al-quran. Hal ini akan terasa sekali ketika seseorang
membaca atau mendapati ayat-ayat al-Quran yang masih sangat global, tidak
terpirinci, dan kerap kali terdapat keterangan-keterangan yang bersifat, tidak
muqoyyad.
Seperti perintah tentang kewajiban sholat. Dalam al-Qu’ran, tidak dijelaskan bagaimana cara seseorang untuk
mendirikan sholat, ada berapa
rokaat,apa yang harus dibaca, dan apa saja syarat rukunnya. Akan tetapi, dari hadist kita dapat mengetahui
tata caranya sebagaimana yang telah disyariatkan. Oleh karenanya, keberadaan hadist menjadi hal yang
urgen melihat fungsi umum hadist menjadi bayan ayat-ayat al-Quran yang masih
butuh kajian lebih dalam untuk mengetahui makna yang sesungguhya.
Jika umat
islam mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang hadist, maka akan sangat sulit
bagi kita untuk menelaahlebih dalam dan memahami ayat-ayat al-Quran.
Dalam makalah ini, akan diuraikan terkait fungsi hadits dalam
ajaran Islam, disertai contoh permasalahannya
dan juga perbedaan pendapat para ulama dalam mengklasifikasikannya.
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Pembuatan
Makalah
1. Supaya mengetahui apa yang dimaksud dengan hadits.
2. Mengetahui kedudukan hadits dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits
Hadits[1] menurut bahasa (etimologi) adalah
perkataan atau ucapan Hadits menurut syar’i adalah segala sesuatu yang berasal dari
Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan pengakuan (takrir)[2]. Hadits berfungsi sebagai penjelas
ayat-ayat Al-quran yang kurang jelas atau
sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al-quran.
Hadits atau Sunnah dibagi menjadi empat macam,
yaitu:
1.
Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah yang ada hubungannya dengan pembinaan hukum
Islam
2.
Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah yang diberitakan para sahabat mengenai soal-soal
ibadah dan lain
Ulama Usul Fikih menetapkan perbuatan Nabi terbagi
atas beberapa bagian :
1.
Jibilli (tabi’at) yaitu semua perbuatan Nabi yang
termasuk urusan tabi’at seperti makan, minum dan lain-lain. Maka hukumnya mubah
baik untuk perorangan maupun umatnya
2.
Qurb (pendekatan) seperti ibadah shalat, puasa,
shadaqah atau yang seumpamanya
3.
Mu’amalah (hubungan dengan sesama manusia) seperti jual
beli, perkawinan dan lain-lain
4.
Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan
pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain baik dengan lisan beliau, sikap diam
beliau tanpa melakukan sanggahan. Persetujuan Nabi ini menunjukan
suatu kebolehan.
5.
Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan Nabi akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan sampai beliau wafat.
B. Kedudukan Hadits Dalam Islam
Rasulullah SAW adalah orang
yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu
beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk
Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya
Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an
merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya
langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya
kepada ummatdengan cara beliau sendiri.
.......وانزلنا
اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم...........(النحل 44)
“kami telah menurunan
peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu menerangkan kepada
segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl 44).
..ما
اتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فانتهوا........(الحشر 7)
“apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu,
hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan”
(QS. Al-Hasyr 7)
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits
merupakan penjelasan Al-Qur’an. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah
untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan demikian, sunnah adalah
menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya.
Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman
kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah
SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.
Iman Asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya Al-Muwafaqat bahwa
sunnah dibawah derajat Al-Quran dengan alasan :
1.
As-sunnah menjadi bayan (keterangan)
Al-Qur’an.
2.
As-sunnah menerangkan
hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, bukan Al-Qur’an menerangkan hukum
sunnah.
3.
As-sunnah menguatkan
kemutlakan Al-Qur’an, mengkhususkan keumuman Al-Qur’an dan mengihtimalkan
lahirnya Al-Qur’an[3].
Dalam hal mengishtinbatkan hukum, maka sunnah
mempunyai batas-batas :
1.
Sunnah mensyari’atkan
apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah SWT agar diikuti dan dilaksanakan[4].
2.
Sunnah Nabi
menerangkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Al-Qur’an dalam hal menjelaskan
ayat-ayat yang umum, mentabyinkan ayat-ayat yang muhtamil dan mentaqyidkan
ayat-ayat yang mutlak.
3.
Sunnah berwenang
membuat berbagai macam hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk
hal ini, Nabi saw berpedoman kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan ada pula
yang berdasarkan ijtihad Rasulullah sendiri.
Imam Syafi’i menguraikan kedudukan sunnah terhadap
Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Sunnah itu bayanut tafshil, keterangan
yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
2. Sunnah
itu bayanut takhsis yaitu keterangan yang mentakhsiskan segala
keumuman Al-Qur’an.
3. Sunnah
itu bayanut ta’yin yaitu keterangan yang menentukan mana yang
dimaksud dari dua kata atau tiga macam persoalan yang semuanya mungkin untuk
dijelaskan secara terang.
4. Sunnah
itu bayanut ta’kid yaitu keterangan sunnah yang bersesuaian
benar dengan petunjuk Al-Qur’an dari segala jurusan dan ia menguatkan apa yang
dipaparkan ayat-ayat Al-Qur’an.
5. Sunnah itu bayanut tafsir yaitu
keterangan sesuatu hukum dari Al-Qur’an, yang menerangkan apa yang dimaksud
oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an.
6. Sunnah itu bayanut tasyri yaitu
keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an.
Dalam menyampaikan Al Qur’an,
Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang diwahyukan kepada beliau, tanpa hak
untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah katapun. Sedangkan dalam
mendakwahkan petunjuk selain beliau menyampaikannya dengan ucapan, dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal
dari Muhammad SAW sendiri. Hadits Qudsi, walaupun dimulai dengan
pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap dari Rasul.
Beliau hanya menerangkan firman
Allah yang beliau terima sebagai ilham. Pada waktu lain beliau mengemukakan
petunjuk Allah itu dengan perbuatan, termasuk dengan berdiam diri ketika
melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri itu merupakan taqriratau
ijin bagi yang hendak melakukan
perbuatan tersebut. Muhammad SAW meskipun menjadi
Nabi yang menerima wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan yang bertugas
menyampaikan wahyu dan petunjuk lain yang diilhamkan kepada beliau, tetap
manusia biasa yang mempunyai keinginan, pikiran dan pendapat.
Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
menunaikan tugasnya, beliau juga ber-ijtihad dengan menggunakan
akalnya. Ketika menyampaikan ijtihad-nya Muhammad dapat dibantah,
bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain yang lebih
baik. Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun yang boleh
turut campur apa lagi mengoreksinya.
Para ulama menerangkan beberapa
fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an :
1.
merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al
Qur’an hanya membicarakan pokoknya saja[5].
2.
menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di
dalam Al Quran[6].
3.
menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al
Qur’an[7].
Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak
ditulis pada waktu Rasulullah SAW masih hidup kerena
disebabkan beberapa faktor :
1.
karena Rasul sendiri pernah melarangnya.Para ulama
hadits menganggap larangan ini disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan Al
Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena waktu itu belum ada media tulis
yang baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari mengijinkan beberapa
sahabat yang terpercaya, menulis keterangan-keterangan beliau.
2.
Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan
dan perbuatan beliau itu atas petunjuk Allah atau hanya ijitihad beliau
sendiri.
3.
Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah.
Maka potensi penulis yang tersedia, dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al
Qur’an, yang Rasul memang memerintahkannya.
4.
Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah
ummat, sehingga bila ada yang memerlukan keterangan atau penjelasan tentang
pernyataan Al Qur’an, dia dapat bertanya langsung kepada beliau.
Kenyataan bahwa tulisan mengenai
Al Hadits sangat langka, menimbulkan kesulitanketika Rasulullah SAW telah
wafat. Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dan yang
menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat
memerlukan pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai
masalah, yang petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam Al-Qur’an.
Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(menjabat tahun 99-101 H), mengambil inisiatif memerintahkan ummat untuk
menuliskan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Sejak perintah dikeluarkan, banyak sekali hadits yang ditulis dan
disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian, ketika banyak hadits yang saling
bertentangan, dan yang isinya diragukan. Maka para ulama kemudian melakukan
seleksi hadits, dengan menyusun metode untuk
itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode sekaligus penerapannya, antara
lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (202-261 H), Abu Musa Muhammad
at-Tirmidzi (209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), Ibnu Majah (209-273 H), dan An
Nasa’i (215-303 H). Umumnya ulama hadits beranggapan, metode Bukhari merupakan
yang paling hati-hati dalam prosedur seleksi hadits.
Meskipun ada perbedaan di antara
berbagai metode yang digunakan, secara umum dapat dikatakan bahwa ada tiga
unsur yang diperiksa dalam proses seleksi hadits:
1.
Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau
menyaksikan sendiri ucapan maupun perbuatan Rasul secara berantai sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu
harus menyambung tanpa ada keraguan sama sekali.
2.
Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad;
mereka harus terpercaya dalam arti kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur
akhlaknya, dan panjang ingatannya.
3.
Matan (isi hadits), yaitu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
hadits-hadits lain yang lebih tinggi tingkat kepercayaannya.
Dengan pemeriksaan yang saksama
terhadap sanad, dapat diketahui apakah sebuah hadits itu mutawatir dikemukakan
di dalam banyak sekali jalur sanad, atau masyhurdinyatakan
di dalam cukup banyak sanad, atau ahad hanya
ditemukan dalam sedikit jalursanad. Hadist mutawatir tentu
lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi haditsahad.
Selanjutnya sesudah
mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat ditetapkan mana
hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada
taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).
C.
Fungsi Hadist dalam Ajaran
Islam
Dalam al-quran dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. diutus
oleh Allah ke muka bumi untuk menjelaskan isi kandungan yang terdapat dalam ayat-ayat
al-Quran. Hal itu senada dengan firman Allah dalam qur’an surat An Nahl : 44
yang artinya :
dan kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Dengan pemahaman ayat diatas, tegaslah kiranya bahwa
hadist itu penjelasan, pensyarah, pen-taqyid, dan pen-takhsish ayat-ayat
al-Quran.
Imam Ahmad berkata, “Mencari hukum dalam al-Quran
haruslah melalui hadist. Mencari agama demikian pula, Jalan yang telah dibentang
untuk mempelajari fiqh Islam an syariatnya ialah hadist/sunnah. Mereka yang
mencukpi dengan al-Quran saja, tidak memerlukan hadist dalam memahami ayat,
dalam mengetahui syariatnya,sesatlah perjalanannyadan tidak akan sampai pada
tujuan yang dikehendaki.”[1]
Penjelasan-penjelasan yang dilakukan oleh nabi sangat
beraneka ragam bentuknya dan memiliki fungsi-fungsi tertentu. Penjelasan itu
dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa
diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain). Nabi
Muhammad saw. telah diberi oleh Allah SWT (melalui Al-Quran) hak dan wewenang
tersebut. Segala ketetapannya harus diikuti.
Banyak ayat al-quran dan hadist Rasulullah yang
memberikan penegasan bahwa hadist merupakan sumber hukum Islam selain al-quran
yang wajib diikuti.
1.
Dalil al-Quran
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya;
jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir". ( ali Imron : 32)
2.
Hadist Rasulullah
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و
سنة نبيه
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalia
tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa
kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.
3.
Ijma’
Umat
islam sepakat menjadikan hadist sebagai mashadir at-tasyri’.
Kesepakatan itu, bahkan telah dilakukan sejak masa Rasulullah. Ketika
masa al-khulafa ar-rasyidindan masa-masa selanjutnya pun, tidak ada
yang mengingkarinya.
4.
Sesuai dengan logika
rasional
Kerasulan
Muhammad telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Karena itu, bila
kerasulannya telah diakui dan dibenarkan, maka sudah
selayaknya apabila segala peraturan dan perundang-undangan, baik yang beliau
ciptakan atas bimbingan wahyu maupun hasil ijtihad dan inisiatif sendiri,
ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.[2]
D. Fungsi - Fungsi Hadits dan Contoh
- Contoh Kasus Serta Dalil
Pendukungnya
Fungsi Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap
al-qur’an ada 4 macam, yaitu:
1. Bayan Al-Taqrir
Bayan at-taqrir di
sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitumenetapkan
dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an. Fungsi hadits ini
hanya memperkokoh isi kandungan al-qur’an sekalipun dengan redaksi yang berbeda
namun ditinjau dari substansinya mempunyai makna yang sama. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan contoh hadits yang di riwayatkan Muslim dari Ibnu Umar
yang berbunyi :
فإذا رأيتم الهلال فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا ( رواه
مسلم )
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka
berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqrir (menetapkan) ayat al-Quran Surah. Al-Baqoroh : 185 yang berbunyi :
فَمَن
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
Maka barangsiapa
yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...
Karena ayat al-quran dan hadist diatas mempunyai makna
yang sama maka hadist tersebut berfungsi sebagai bayan taqrir, mempertegas apa
yang telah disebut dalam al-quran.
2. Bayan Al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah
fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an
yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau
batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur’an yang masih bersifat
umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-qur’an yang
masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat. Banyak sekali
ayat-ayat terkait perintah kewajiban sholat dalam al-Quran. Salah satunya
sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat : 43
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الرا كعين
dan dirikanlah shalat,
tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat
tetapi tidak dirinci atau dijelaskan bagaimana operasionalnya, berapa
rokaatnya, serta apa yang harus dibaca dalam setiap gerakan sholat. Kemudian
Rasulullah memperagakan bagaimana mendirikan sholat yang baik dan benar. Hingga
beliau bersabda,
صلوا كما رايتموني
اصلي(رواه البخاري)
Shalatlah sebagaimana
engkau melihat aku shalat. (HR.Bukhori.)
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid)
ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti sabda rasullullah,
أتي رسول الله صلى الله
عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
Rasullullah didatangi
seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari
pergelangan tangan.
Hadits ini men-taqyid QS.Almaidah
: 58 yang berbunyi :
والسارق و السارقة
فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan
sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Dalam ayat diatas belum ditentukan batasan untuk
memotong tangannya. Bisa jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau
sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya
itu termasuk dalam kategori tangan. Akan tetapi, dari hadist nabi
tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong
tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Sedangkan contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman
ayat-ayat al-Quran, adalah :
قال النبي صلى الله
عليه و سلم لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم ( رواه البخارى ) Nabi SAW bersabda : “tidaklah seorang muslim mewarisi dari orang kafir , begitu juga kafir
tidak mewarisi dari orang muslim.
Hadits tersebut
mentakhshish keumuman ayat :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ( النساء
: 11 )
Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan. (QS. An- Nisa
: 11)
3. Bayan At-Tasyri’
Bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan
suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran , atau dalam
al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Seperti
contoh berikut:
أن
الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى
من المسلمين (رواه المسلم )
Bahwasahnya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitroh kepada umat islam pada bulan
ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka
atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim.
(HR. Muslim).
Hadits
Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya.
Namun
demikian, sebagian ulama membantah bahwa sunnah dapat membentuk hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran. Karena menurut
mereka, sunnah tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum baru
4. Bayan Al-Nasakh
Nasakh menurut
bahasa berarti (membatalkan dan menghilangkan), oleh para ahli Ushul Fiqih
diartikan dengan: “Penghapusan hukum
Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang kemudian”.
Dalam menasakh al-Qur’an dengan sunah/hadist ini
terdapat dua macam pendapat di antara para ahli Ushul tentang
boleh tidaknya. Pendapat pertama menyatakan, menasakh Alquran dengan Sunah
diperkenankan, asalkan dengan Sunah Mutawatir atau Sunah Masyhur, bukan sunah
Ahad. Sedang pendapat kedua menyatakan, menasakh Alquran dengan Sunah tidak
dibolehkan, karena derajat al-quran lebih tinggi dari pada Sunah. Padahal
syarat nasikh itu adalah yang lebih tinggi derajatnya atau
sepadan.[3]
Contoh
hadist yang berfungsi sebagai bayan al-naskh :
لا وصية لوارث
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadist ini menaskh firman Allah :
كتب
عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين و الأقربين بالمعروف حقا
على المتقين (البقرة : 180)
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah
kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqoroh : 180).
E.
Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam
Sehubungan
dengan fungsi hadist sebagai bayan tersebut, para ulama
berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut.
1.
Menurut Imam Malik
bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan
Isbat, dan bayan tasyri’.
2.
Menurut Imam Syafi’i,
yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan
isyaroh
3.
Menurut Ahman bin
Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan
takhsis.
Meskipun
para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya yang mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya
adalah menguatkan, merinci, menjelaskan, membuat aturan baru dan merevisi
aturan al-quran.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam,
dialah sumber yang paling luas, yang terinci penjelasannya, dan paling lengkap
susunannya. Sunnah memberikan perhatian yang penuh dalam menjelaskan Al-Qur’an.
Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam urusan istinbat hukum
Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan penjelasan dari
As-Sunnah.
Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita mengambil
suatu hukum dari Al-Qur’an tanpa melihat terlebih dahulu apakah ada hadits yang
menjelaskan tentang ayat tersebut.
Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam
memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits agar kita mampu memahami agama dengan baik dan
benar.
Al-qur’an dan Hadits adalah sebagi pedoman hidup,
sumber hukum dan ajaran dalam Islam antara satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber hukum islam kedua setelah al-quran.
Fungsi hadits sebagai penjelas(bayan) terhadap
Al-qur’an mempunyai empat(4) macam, yaitu:
1.
Bayan Al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan
bayan al-isbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an
2.
Bayan Al-Tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan
tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
memberikan persyaratan atau batasan(taqyid) ayat-ayat al-qur’an
yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat
al-qur’an yang masih bersifat umum.
3.
Bayan At-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam al-Quran , atau dalam
al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja
4.
Bayan At-Nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang
datang kemudian
Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam:
Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu
meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan
tasyri’. Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin,
bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh. Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid,
bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.
B.
Saran
Demikian makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai Hadist dalam Ajaran Islam
sedikit banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami menyadari sebagai
manusia biasa memang tidak bisa luput dari kesalahan tidak terkecuali dengan makalah yang kami buat.
Untuk itu, kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik
lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.
Amiiin.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Zufran.
1995.”Kajian Sunnah Nabi saw Sebagai Sumber Hukum Islam”.Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya.
Aghnides,
Nicolas P. 1984.”Pengantar Ilmu Hukm Islam”. Solo: Ramadhani
Amin, Muhammadiyah, Ilmu Hadist, Yogyakarta: Graha
Guru, 2008
Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu
Hadist, Semarang : Pustaka
Rizki Putra
Shihab, Quraisy, Membumikan
Al-Quran, Bandung: Mizan,
1996
Suparta, Munzier. ILMU HADITS . Jakarta : Fajar Interpratama Offset, 2003